Senin, 09 Maret 2015

SLEEP PARALYSIS

Sleep paralysis atau kelumpuhan tidur merujuk pada keadaan ketidakmampuan bergerak ketika sedang tidur ataupun ketika bangun tidur. Seseorang yang mengalami kelumpuhan tidur biasanya akan mengalami masalah untuk menggerakkan anggota badan, tidak bisa mengeluarkan suara dan sebagainya. Kelumpuhan tidur biasanya juga disertai dengan halusinasi seram atau mimpi buruk.
Kelumpuhan tidur terjadi dalam keadaan si penderita sedang setengah tidur, sedang tertidur lelap, ataupun dalam keadaan terjaga sewaktu mengalami kelumpuhan tidur. Kondisi ini umumnya terjadi bila si penderita tidur menelentang atau menghadap ke atas, yang ditandai dengan merasa sesak napas seperti dicekik, dada sesak, badan tidak bisa bergerak dan sulit bersuara.
Kelumpuhan tidur diyakini terjadi akibat terganggunya fase tidur REM, yang menyebabkan terjadinya atonia otot lengkap yang mencegah seseorang untuk bertindak di luar mimpi mereka. Kelumpuhan tidur telah dikaitkan dengan gangguan lainnya seperti narkolepsi, migrain, gangguan kecemasan, dan apnea tidur obstruktif.
Kelumpuhan tidur bisa diklasifikasikan menjadi dua, yakni kelumpuhan tidur terisolasi (ISP) dan kelumpuhan tidur terisolasi berulang (RISP). Dari kedua tipe tersebut, ISP lebih umum terjadi jika dibandingkan dengan RISP. ISP terjadi dengan durasi yang pendek, sekitar satu menit. Kelumpuhan tidur ISP terjadi setidaknya sekali dalam seumur hidup seseorang. Sedangkan RISP bisa digolongkan ke dalam kondisi kronis. Individu mengalami kelumpuhan tidur yang terjadi berulang kali di sepanjang hidupnya. Salah satu perbedaan antara ISP dan RISP adalah durasinya; RISP bisa berlangsung hingga satu jam atau lebih, dan penderita mengalami kejadian di luar pengalaman tubuh yang lebih tinggi, sedangkan ISP terjadi dengan durasi yang pendek (biasanya tidak lebih dari satu menit) dan kejadiannya hanya sebatas mimpi buruk atau halusinasi incubus. Selain itu, dalam kondisi RISP, penderita bisa mengalami kelumpuhan tidur berulang kali pada malam yang sama, sedangkan dalam ISP tidak.
Agak sulit untuk membedakan antara katapleksi yang disebabkan oleh narkolepsi dan kelumpuhan tidur, karena kedua fenomena ini secara fisik tidak dapat dibedakan. Cara terbaik untuk membedakan antara keduanya adalah dengan cara mencatat waktu ketika terjadinya serangan. Narkolepsi umumnya terjadi ketika individu sedang terjaga, sedangkan ISP dan RISP umumnya berlangsung saat individu sedang tertidur.
Prevalensi kelumpuhan tidur di antara populasi umum adalah sekitar 6,2%. Mayoritas individu-individu yang telah mengalami kelumpuhan tidur mengalaminya sekali sebulan hingga sekali setahun. Sedangkan 3% dari individu telah mengalami kelumpuhan tidur yang terjadi berulang setiap malamnya; seperti yang disebutkan sebelumnya, orang-orang ini didiagnosis menderita RISP. Kelumpuhan tidur umumnya bisa terjadi baik pada pria maupun wanita. Namun, kelompok usia tertentu bisa menjadi lebih rentan mengalami kelumpuhan tidur. Sekitar 36% dari individu yang telah mengalami kelumpuhan tidur berasal dari kelompok usia antara 25-44 tahun dan usia rata-rata orang pertama kali mengalami gangguan tidur ini adalah 14-17 tahun.
Patofisiologi kelumpuhan tidur belum diidentifikasi secara konkret, namun ada beberapa teori mengenai apa yang menyebabkan seseorang bisa mengalami kelumpuhan tidur. Yang pertama berasal dari pemahaman bahwa kelumpuhan tidur adalah parasomnia yang disebabkan oleh tidak sejalannya fase REM dan bangun tidur, dengan kata lain, otak masih dalam kondisi tidur tapi tubuh ingin bangun, sehingga tubuh tidak bisa digerakkan. Studi polisomnografi menemukan bahwa seseorang yang mengalami kelumpuhan tidur memiliki masa tidur REM yang lebih pendek dari biasanya. Studi ini juga menyatakan bahwa tidak teraturnya pola tidur dapat memicu terjadinya kelumpuhan tidur, karena malfungsi tidur REM biasanya terjadi saat pola tidur terganggu.
Selain itu, penelitian lainnya menemukan bahwa kurang tidur juga bisa menyebabkan terjadinya kelumpuhan tidur. Berdasarkan gelombang otak, tidur terbagi dalam 4 tahapan. Tahapan itu adalah tahap tidur paling ringan (masih setengah sadar), tahap tidur yang lebih dalam, tidur paling dalam dan tahap REM. Pada tahap REM inilah mimpi terjadi. Saat kondisi tubuh terlalu lelah atau kurang tidur, gelombang otak tidak mengikuti tahapan tidur yang seharusnya; dari keadaan sadar ke tahap tidur paling ringan, kemudian langsung melompat ke tahap REM. Oleh sebab itu, ketika otak tiba-tiba terbangun dari tahap REM tapi tubuh belum, di sinilah kelumpuhan tidur terjadi. Individu merasa sangat sadar, tapi tubuh tak bisa bergerak. Ditambah lagi dengan adanya halusinasi munculnya sosok lain yang sebenarnya merupakan karakteristik dari mimpi.
Kelumpuhan tidur sering diiringi oleh halusinasi seram (hipnopompik atau hipnagogik) dan perasaan takut yang teramat sangat. Ketakutan penderita terhadap kelumpuhan tidur terutama berasal dari jelasnya halusinasi yang dialaminya. Elemen halusinasi saat mengalami kelumpuhan tidur membuat seseorang cenderung menafsirkan pengalaman tersebut sebagai mimpi, karena objek-objek yang tidak masuk akal mungkin muncul di dalam kamar dalam pandangan mata kasar seseorang.
Ada gagasan bahwa kelumpuhan tidur ini bersifat genetik. Penelitian terhadap sepasang anak kembar menunjukkan bahwa jika salah satunya mengalami kelumpuhan tidur, maka yang satunya lagi juga berkemungkinan mengalaminya.
Beberapa faktor telah diidentifikasi sebagai hal-hal yang menyebabkan terjadinya kelumpuhan tidur. Faktor ini termasuk insomnia dan kurang tidur, jadwal tidur yang tidak teratur, tidur dengan posisi terlentang, stres, terlalu sering menggunakan stimulan, kelelahan fisik, serta penggunaan obat-obatan tertentu untuk mengobati ADHD. Tidur dalam posisi terlentang dikatakan sebagai faktor utama yang memicu terjadinya kelumpuhan tidur. Kelumpuhan tidur bisa juga merupakan pertanda narkolepsi (serangan tidur mendadak tanpa tanda-tanda mengantuk), apnea tidur (mendengkur), kecemasan, atau depresi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar