Sleep paralysis atau kelumpuhan
tidur merujuk pada keadaan ketidakmampuan bergerak ketika
sedang tidur ataupun ketika bangun tidur. Seseorang yang mengalami
kelumpuhan tidur biasanya akan mengalami masalah untuk menggerakkan
anggota badan, tidak bisa mengeluarkan suara dan sebagainya. Kelumpuhan
tidur biasanya juga disertai dengan halusinasi seram atau mimpi buruk.
Kelumpuhan tidur terjadi dalam
keadaan si penderita sedang setengah tidur, sedang tertidur lelap,
ataupun dalam keadaan terjaga sewaktu mengalami kelumpuhan tidur.
Kondisi ini umumnya terjadi bila si penderita tidur menelentang atau
menghadap ke atas, yang ditandai dengan merasa sesak napas seperti
dicekik, dada sesak, badan tidak bisa bergerak dan sulit bersuara.
Kelumpuhan tidur diyakini
terjadi akibat terganggunya fase tidur REM, yang menyebabkan terjadinya
atonia otot lengkap yang mencegah seseorang untuk bertindak di
luar mimpi mereka. Kelumpuhan tidur telah dikaitkan dengan gangguan
lainnya seperti narkolepsi, migrain, gangguan kecemasan, dan apnea tidur
obstruktif.
Kelumpuhan tidur bisa diklasifikasikan menjadi dua, yakni kelumpuhan tidur terisolasi (ISP) dan kelumpuhan tidur terisolasi berulang (RISP). Dari kedua tipe tersebut, ISP lebih umum terjadi jika dibandingkan dengan RISP. ISP
terjadi dengan durasi yang pendek, sekitar satu menit. Kelumpuhan tidur
ISP terjadi setidaknya sekali dalam seumur hidup seseorang. Sedangkan
RISP bisa digolongkan ke dalam kondisi kronis. Individu mengalami
kelumpuhan tidur yang terjadi berulang kali di sepanjang hidupnya. Salah
satu perbedaan antara ISP dan RISP adalah durasinya; RISP bisa
berlangsung hingga satu jam atau lebih, dan penderita mengalami kejadian
di luar pengalaman tubuh yang lebih tinggi, sedangkan ISP terjadi
dengan durasi yang pendek (biasanya tidak lebih dari satu menit) dan
kejadiannya hanya sebatas mimpi buruk atau halusinasi incubus. Selain
itu, dalam kondisi RISP, penderita bisa mengalami kelumpuhan tidur
berulang kali pada malam yang sama, sedangkan dalam ISP tidak.
Agak
sulit untuk membedakan antara katapleksi yang disebabkan oleh
narkolepsi dan kelumpuhan tidur, karena kedua fenomena ini secara fisik
tidak dapat dibedakan. Cara terbaik untuk membedakan antara keduanya adalah dengan cara mencatat waktu ketika terjadinya serangan. Narkolepsi umumnya terjadi ketika individu sedang terjaga, sedangkan ISP dan RISP umumnya berlangsung saat individu sedang tertidur.
Prevalensi
kelumpuhan tidur di antara populasi umum adalah sekitar 6,2%. Mayoritas
individu-individu yang telah mengalami kelumpuhan tidur mengalaminya
sekali sebulan hingga sekali setahun. Sedangkan 3% dari individu telah
mengalami kelumpuhan tidur yang terjadi berulang setiap malamnya;
seperti yang disebutkan sebelumnya, orang-orang ini didiagnosis
menderita RISP. Kelumpuhan
tidur umumnya bisa terjadi baik pada pria maupun wanita. Namun,
kelompok usia tertentu bisa menjadi lebih rentan mengalami kelumpuhan
tidur. Sekitar 36% dari individu yang telah mengalami kelumpuhan tidur
berasal dari kelompok usia antara 25-44 tahun dan usia rata-rata orang
pertama kali mengalami gangguan tidur ini adalah 14-17 tahun.
Patofisiologi kelumpuhan
tidur belum diidentifikasi secara konkret, namun ada beberapa teori
mengenai apa yang menyebabkan seseorang bisa mengalami kelumpuhan tidur.
Yang pertama berasal dari pemahaman bahwa kelumpuhan tidur
adalah parasomnia yang disebabkan oleh tidak sejalannya fase REM dan
bangun tidur, dengan kata lain, otak masih dalam kondisi tidur tapi
tubuh ingin bangun, sehingga tubuh tidak bisa digerakkan. Studi
polisomnografi menemukan bahwa seseorang yang mengalami kelumpuhan
tidur memiliki masa tidur REM yang lebih pendek dari biasanya. Studi
ini juga menyatakan bahwa tidak teraturnya pola tidur dapat memicu
terjadinya kelumpuhan tidur, karena malfungsi tidur REM biasanya terjadi
saat pola tidur terganggu.
Selain itu, penelitian lainnya
menemukan bahwa kurang tidur juga bisa menyebabkan terjadinya kelumpuhan
tidur. Berdasarkan gelombang otak, tidur terbagi dalam 4 tahapan.
Tahapan itu adalah tahap tidur paling ringan (masih setengah sadar),
tahap tidur yang lebih dalam, tidur paling dalam dan tahap REM. Pada
tahap REM inilah mimpi terjadi. Saat kondisi tubuh terlalu lelah atau
kurang tidur, gelombang otak tidak mengikuti tahapan tidur yang
seharusnya; dari keadaan sadar ke tahap tidur paling ringan, kemudian
langsung melompat ke tahap REM. Oleh sebab itu, ketika otak tiba-tiba
terbangun dari tahap REM tapi tubuh belum, di sinilah kelumpuhan tidur
terjadi. Individu merasa sangat sadar, tapi tubuh tak bisa bergerak.
Ditambah lagi dengan adanya halusinasi munculnya sosok lain yang
sebenarnya merupakan karakteristik dari mimpi.
Kelumpuhan tidur sering
diiringi oleh halusinasi seram (hipnopompik atau hipnagogik) dan
perasaan takut yang teramat sangat. Ketakutan penderita terhadap
kelumpuhan tidur terutama berasal dari jelasnya halusinasi yang
dialaminya. Elemen halusinasi saat mengalami kelumpuhan tidur membuat
seseorang cenderung menafsirkan pengalaman tersebut sebagai mimpi,
karena objek-objek yang tidak masuk akal mungkin muncul di dalam kamar
dalam pandangan mata kasar seseorang.
Ada gagasan bahwa kelumpuhan tidur ini bersifat genetik. Penelitian terhadap sepasang anak kembar menunjukkan bahwa jika salah satunya mengalami kelumpuhan tidur, maka yang satunya lagi juga berkemungkinan mengalaminya.
Beberapa
faktor telah diidentifikasi sebagai hal-hal yang menyebabkan terjadinya
kelumpuhan tidur. Faktor ini termasuk insomnia dan kurang tidur, jadwal
tidur yang tidak teratur, tidur dengan posisi terlentang, stres,
terlalu sering menggunakan stimulan, kelelahan fisik, serta penggunaan
obat-obatan tertentu untuk mengobati ADHD. Tidur dalam posisi terlentang dikatakan sebagai faktor utama yang memicu terjadinya kelumpuhan tidur. Kelumpuhan tidur bisa juga merupakan pertanda narkolepsi (serangan tidur mendadak tanpa tanda-tanda mengantuk), apnea tidur (mendengkur), kecemasan, atau depresi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar