Minggu, 09 November 2014

Temanten Kucing


Mungkin banyak orang yang tidak percaya jika hujan bias didatangkan lewat ritual khusus. Caranya pun cukup unik yakni dengan memandikan sepasang kucing berlainan jenis di sebuah sendang atau coban.


Ada tradisi unik di Desa Pelem Kecamatan Campur-darat, Kabupaten Tulung­agung. Warga di desa tersebut sangat percaya jika kemarau panjang bisa diakhiri dengan ritual khusus yakni “Man-ten Kucing.”
Ketika musim penghujan tak kunjung turun dan tanah-tanah persawahan mulai mongering, warga desa mengadakan satu ri­tual yang dipercaya bisa menu­runkan hujan yakni “Manten Ku­cing”. Tetapi jangan membayang­kan jika ritual ini adalah ritual perkawinan kucing. Ritual yang di­percaya ada sejak masa peme­rintahan Belanda ini, hanya me­mandikan dua ekor kucing berla­inan jenis di sendang atau coban, tidak jauh dari desa bernama Co­ban Kram.
Lantas mengapa dikatakan manten? Ketika ditelisik lebih da­lam, ternyata ritual memandikan dua ekor kucing ini diupacarakan menyerupai ritual sepasang pe­ngantin menusia. “Karena itulah ri­tual tersebut yang lantas mendasari nama manten kucing,” kata Kepala Desa Palem, Nugroho Agus.
Ketika ditanya kapan pertama kali ritual Manten Kucing digelar, Agus tidak bisa mengatakan pasti. Hanya saja menurut lelaki ber­kumis tebal ini, ritual asli Tulung­agung tersebut, ada sejak ratusan tahun lalu saat pemerintahan Be­landa oleh Eyang Sangkrah pembabat alas desa setempat Kala itu, terjadi musim ke-
marau panjang yang membuat persawahan, sungai, dan telaga (kolam air untuk minum warga) kering. Para penduduk yang ma­yoritas bekerja sebagai petani pun resah. Beberapa ritual keper­cayaan telah dilakukan dengan tujuan agar hujuan segera turun. Namun tak setitik air pun turun meski semua warga desa me­mohon pada sang pencipta.
Ditengah-tengah kegelisahan tersebut tanpa sengaja saat Eyang Sangkrah mendi di sen­dang. Tiba-tiba kucing Condro-mowo (kucing yang memiliki tiga warna berbeda) miliknya ikut mandi.
Sepulang Eyang Sangkrah memandikan kucing di telaga, tak lama berselang, di kawasan Desa Pelem turun hujan deras. Karuan saja, warga yang sudah lama menunggu-nunggu turun­nya hujan tak bisa menyembu­nyikan rasa riangnya. “Mereka yakin, hujan turun ini ada kaitannya dengan Eyang Sangkrah yang baru saja memandikan kucing Cpndromowo,” tutur Agus men­ceritakan asal muasal sejarah ‘Temanten Kucing”.
Ketika Desa Pelem dijabat Demang Sutomejo pada 1926, desa ini kembali dilanda kemarau panjang. Saat itulah, ungkap Nu­groho Agus, Eyang Sutomejo mendapat wangsit untuk me­mandikan kucing di telaga. Maka, dicarilah dua ekor kucing Condro-mowo yang diambil dari arah barat dan timur desa. Lalu, dua ekor ku-
cing itu dimandikan di Coban yang berjarak sekitar satu kilo meter dari desa Palem. Dan, beberapa hari kemudian hujan mulai meng­guyur di Desa Pelem dan seki­tarnya. “Saat ini, kami menggelar ritual “Temanten Kucing” bukan semata-mata untuk minta hujan. Tapi, tradisi ini kami lestarikan untuk nguriruri warisan nenek moyang,” kata Nugroho Agus yang masih ada hubungan cucu dengan Eyang Sutomejo.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar