1. Judul buku
: Padang Bulan
2. Penulis buku
: Andrea Hirata
3. Penerbit
: Bentang
4. Tahun terbit
: 2010
5. Cetakan
:
-Cetakan pertama, Juni 2010
-Cetakan kedua, Agustus 2010
-Cetakan ketiga, Agustus 2010
6. Tebal buku
: xiv + 253 hlm
7. ISBN
: 978-602-8811-09-5
Ringkasan novel Padang Bulan karya Andrea Hirata
Padang Bulan
Menjelang tengah hari, sebuah
mobil pikap berhenti di depan rumah. Dua lelaki mengangkat benda yang di
bungkus dengan terpal dari bak mobil itu dan membawanya masuk ke dalam rumah.
Syalimah bertanya-tanya. Mereka tak mau jawab.
“Malam ini ada pasar malam di
Manggar, Mak Cik,” kata salah seorang lelaki itu sambil tersenyum.
Syalimah memandangi benda itu
dengan gugup, tapi gembira. Yang dimaksud kejutan oleh suaminya,
Zamzani, pasti benda itu. Ternyata kejutan menimbulkan sebuah perasaan
gembira tak terkira. Sekarang ia paham mengapa orang-orang kaya menyukai kejutan.
Perlahan pasti Syalimah meraba
terpal yang menutupi benda itu bermaksud membukanya. Berulang kali Syalimah
memutuskan tidak membukanya sampai sang suami pulang namun rasa penasarannya
tak tertahankan. Ia memberanikan diri. Ia memejamkan mata dan menarik terpal.
Ia membuka matanya dan terkejut tak kepalang melihat sesuatu berkilauan :
sepeda Sim King made in RRC!
Syalimah hening. Zamzani
ternyata memendam apa yang ia katakan saat hamil anak meraka keempat.
Berbonceng bersama ke pasar malam
seperti yang ayah Syalimah lakukan bersamanya dulu. Ia terharu. Bahkan itu
bukanlah sebuah permintaan. Syalimah lantas hilir mudik di dapur berpikir
bagaimana membagi anak-anaknya pada tiga sepeda. Untuk pergi bersama sekeluarga
ke pasar malam.
Kemudian Syalimah tak sabar
menunggu suaminya pulang. Ia berdiri di ambang jendela, tak lepas memandangi langit
yang mendung dan ujung jalan yang kosong. Syalimah gembira melihat seseorang
bersepeda dengan cepat. Jika orang itu—Sirun—telah pulang, pasti suaminya
segera pula pulang. Namun, Sirun berbelok menuju rumah Syalimah dengan
tergesa-gesa. Buruh kasar itu langsung masuk dan dengan gemetar mengatakan
bahwa telah terjadi kecelakaan. Zamzani tertimbun tanah. Napasnya tercekat.
Sirun memintanya menitipkan anak-anaknya dan mengajaknya ikut ke tambang.
Sampai di sana, Syalimah
mendengar orang berteriak-teriak panik dan menggunakan alat apa saja untuk
menggali tanah yang menimbun Zamzani. Syalimah berlari dan bergabung dengan
mereka. Ia menggali tanah dengan tanganya sambil tersedak-sedak
memanggil-manggil suaminya. Keadaan menjadi semakin sulit karena hujan turun.
Tanah yang menimbun Zamzani berubah menjadi lumpur. Para penambang berebut
dengan waktu. Jika terlambat, Zamzani pasti tak tertolong dan Zamzani mulai
masuk saat-saat tak tertolong itu. Syalimah menggali seperti orang lupa diri
sambil menangis, sampai ujung-ujung jarinya berdarah. Ia berharap Zamzani
tertimbun dalam keadaan tertelungkup. Penambang yang tertimbun dalam keadaan
telentang tak pernah dapat diselamatkan. Galian semakin dalam, Zamzani belum
tampak juga. Tiba-tiba Syalimah melihat sesuatu. Ia menjerit.
“Ini tangannya! Ini
tangannya!”
Orang-orang menghambur ke arah
tangan itu. Syalimah gemetar karena tangan yang menjulur itu terbuka. Suaminya
telah tertimbun dalam keadaan telentang. Para penambang cepat-cepat menarik
Zamzani. Ketika berhasil ditarik, lelaki kurus itu tampak seperti tak
bertulang. Zamzani diam tak bergerak. Semuanya telah terlambat.
Syalimah tersedu sedan. Ia
bersimpuh di samping Zamzani yang telah mati. Ia mengangkat kepala suaminya ke
atas pangkuannya. Kepala itu terkulai seperti ingin bersandar. Syalimah
membasuh wajah Zamzani dengan air hujan, lalu tampak seraut wajah yang pias dan
sepasang mata yang lugu. Syalimah mendekap lelaki penyayang itu dan
meratap-ratap memanggil-manggil suaminya.
***
Anak pertama keluarga itu
adalah Enong (panggilan bagi anak tertua anak melayu). Enong duduk di kelas
enam SD dan merupakan siswa cerdas. Enong menyukai pelajaran bahasa Inggris dan
cita-citanya ingin menjadi seorang guru bahasa Inggris seperti Bu Nizam.
Zamzani amat bangga dengan
cita-cita Enong. Sering kali Enong berbicara soal kamus bahasa Inggris. Ia
tahu, putrinya ingin sekali punya kamus. Sebaliknya, Enong yang masih kecil
paham bahwa ayahnya miskin. Ia tak pernah minta di belikan kamus, tak pernah
minta di belikan apa pun.
Zamazani sendiri pernah
melihat pedagang kaki lima di Tanjong Pandan kamus yang sangat hebat. Kamus itu
adalah Kamus Bahasa Inggris Satu Miliar Kata. Zamzani berniat membelikan
putrinya kamus itu. Ia berkerja lebih keras. Dan setelah berbulan-bulan,
akhirnya Zamzani punya uang lebih. Zamzani pun mengatakan pada Enong akan
memebelikannya Kamus Bahasa Inggris Satu Miliar Kata.
Zamzani segera mengajak Sirun
ke Tanjong Pandan. Senangnya Zamzani mendapati kamus itu masih ada di padagang
kaki lima buku bekas itu. Terbayang olehnya sinar mata anaknya nanti jika
menerima kamus itu.
Zamzani sempat heran melihat
kamus itu ternyata ringan dan tipis saja. Namun dalam hatinya adalah hanya
betapa senagnya Enong menerima kamus itu. Sang pedagang kaki lima itu
menyarankan Zamzani agar membukus kamus itu dengan sampul yang cantik dan
menuliskan kata-kata di halaman muka. Di bantu oleh pedagang itu, Zamzani
akhirnya menemukan kaliamt yang tepat untuk di tuliskannya pada halaman muka
kamus.
Sementara itu Enong cemas
menunggu Ayahnya pulang dengan membawa kamus yang ia impi-impikan. Ketika
ayahnya tiba, ia menyongsongnya di pekarangan. Ia melonjak-lonjak senang
menerima kamus itu.
Zamzani gembira karena
pendapat padagang kaki lima itu semuanya benar. Enong membukanya dan menemukan
tulisan itu. Ia membacanya.
Buku ini untuk anakku, Enong.
Kamus satu miliar kata.
Cukuplah untukmu sampai bisa
menjadi guru bahasa Inggris seperti Ibu Nizam.
Kejarlah cita-citamu, jangan
menyerah, semoga sukses.
Tertanda,
Ayahmu
Enong terdiam, lau ia menangis untuk sebuah alasan yang
tak ia mengerti.
***
Sirun pun diutus untuk
mejemput Enong di sekolah. Bu Nizam tengah megajar bahasa Inggris ketika Sirun
tiba. Ia terkejut mendengar berita buruk itu.
Sirun sedih melihat Enong yang
tengah menekuni bukunya dengan tekun. Ia mendekatinya. Seisi kelas
memperhatikannya. Enong bertanya mengapa ia di ajak pulang. Sirun tak tega menyampaikan
apa yang telah terjadi.
Enong bergeming. Ia tak mau
pulang. Sirun mendesaknya berkali-kali.
“Harus ada alas an, Pak Cik,”
ujar Enong dengan jenaka. Pendapat itu disambut riuh persetujuan
teman-temannya. Ia kemudian mengatakan bahwa betapa menariknya pelajaran bahasa
Inggris yang tengah diajarkan oleh Bu Nizam.
“Pelajaran tentang anggota
keluarga, Pak Cik,” ia memberi contoh.
“Mother artinya ibu, father—ayah,
daughter—anak perempuan, son—anak laki-laki.” Kawan-kawannya
tertawa melihatnya menjelaskan bahasa Inggris pada seorang kuli tambang. Sirun
membujuknya lagi. Enong tetap tak mau. Sirun tak punya pilihan lain.
“Kau harus pulang, Nong,
ayahmu meninggal.”
Enong tersentak. Seisi kelas
diam. Senyap. Wajah Enong pucat.
Enong menangis. Air matanya
berjatuhan di atas halaman kamusnya.
∆∆
Di dalam rumah, jenazah
ayahnya terbujur. Enong memeluk ibunya. Ia tak bisa lagi menangis.
Pulang dari pemakaman, Enong
heran melihat banyak orang memandanginya. Syalimah dan anak-anaknya mengantar
pelayat terakhir ke pekarangan.
Subuh esoknya, Syalimah
lekas-lekas abnmgun mendengar panggilan azan. Ia ke dapur dan menanggar air.
Ketika meniup siong untuk menhidupkan kayu bakar, ia tersentak karena
sebuah kesenyapan. Ia baru sadar, untuk siapa ia menyeduh kopi? Suara suaminya
menhaji Alqur’an saban subuh telah menemaninya menghidupkan api dapur selama
belasan tahun. Syalimah duduk termangu, berkali-kali ia mengusap air matanya.
∆∆
Sekarang tulang punggung
keluarga telah tiada. Beras pun telah habis bahkan beras dari para pelayat juga
habis utuk menyambung hidup Syalimah, Enong, dan ketiga adiknya.
Ia gamang memikirkan apa yang
dikatakan orang tentang anak tertua. Namun, ia bahkan belum sepenuhnya mengerti
makna kata tanggung jawab. Apakah ia harus berkerja? Tapi, bagaimana
dengan sekolahnya? Ia sangat mencintai sekolah. Sekarang ia paham mengapa waktu
itu banyak pelayat memandanginya.
Enong tahu beberapa anak
[erempuan tetangganya pergi ke Tanjong Pandang. Menjadi tukang cuci atau
menjaga toko. Ia berusaha meyakinkan ibunya bahwa ia bisa bekerja. Apa susahnya
menjaga toko? Katanya.
Syalimah semula menolak.
Putrinya taknpernah sekalipun meninggalkan kampong, kini harus berjuang
menghadapi hidup yang keras di kota.
***
Dulu, aku menandai, kalau
hujan pertama musim hujan turun pas pada 23 Oktober, dan sore, pasti kampungku
akan tampak lebih mempesona. Jika hujan pertama pada musim hujan turun pada 23
Oktober, ia akan mengguyur dengan teratur, usai asar biasanya, lembut,
berkawan, adakalanya syahdu.
Lambat laun, teori itu berubah
menjadi semacam godaan. Aku sering meyakinkan diriku sendiri untuk
memeprcayai sesuatu yang dibangun di atas logika yang aneh. Aku, alam, dan
hujan pertama, telah membentuk semacam sekongkolan, yang begitu ganjil sehingga
di dunia ini, hanya aku yang boleh tahu
Syalimah tak kuasa
menahan air mata untuk menyiapkan tas Enong yang akan pergi ke kota. Enong
menyimpan semua bukunya kecuali Kamus Bahasa Inggris Satu Miliar Kata
hadiah dari ayahnya. Sebelum berangakt Enong akan mengucapkan perpisahan pada
teman-temannya.
Di lapangan telah menunggu
Nuri, Ilham, Nizam, dan Naila. Ilham hanya diam. Enong dan Ilham saling
menyukai dengan cara yang tak bisa mereka jelaskan. Ketika akan berpisah,
keduanya merasakan kehilangan, juga dengan cara yang tak dapat mereka jelaskan.
Anak-anak itu bergandengan tangan dan menangis.
Tiba di Tanjong Pandan,
ternyata tak semudah apa yang dikira Enong dalam mencari pekerjaan. Sering ia
diusir dengan kasar. Yang dibutuhkan kebanyakan adalah sarjana, lulusan SMA,
perempuan cantik dan hal-hal semacam itu. Sementara Enong, tampilannya saja
seperti orang akan khatam Qur’an, jilbabnya lusuh. Uang tujuh ratus rupiah yang
telah di hemat sekuat tenaga akhirnya habis juga.
Kemudian Enong melihat seorang
Tionghoa tua termangu di depan tokonya yang hamper bankrut. Ia menawarkan
tenaganya untuk bekerja.
“Maaf, Anak Muda, aku ingin
sekali membantu, tapi toko ini mau gulung tikar.” Enong pamit dan beranjak. Bapar
tua itu menyodorkan tangannya.
“Ambillah ini, sedikit uang,
untuk ongkos pulang ke kampung.”
Enong berusaha menolak tapi
bapak itu memaksa.
“Terima kasih, Ba,
suatu hari nanti kita akan berjumpa lagi. Akan kukembalikan uang ini.”
Langit menyaksikan semua itu.
Enong kembali dari Tanjong
Pandan dan mendapati keadaan rumahnya yang amat menyedihkan. Enong semakin
kalut. Di Tanjong Pandan saja sulit mencari pekerjaan, apalagi di kampung.
Sore itu, ia mengambil sepeda
dan mengayuhnya keluar kampung untuk melrikan perasaannya yang sedang risau.
Diselusurinya padang dan bukit-bukit pasir. Lalu, ia melamun di pinggir danau.
Ia hamper pada tahap putus asa. Ia membasuh wajahnya yang berlinang air mata.
Di pandanginya tubuhnya yang berpendar di atas permukaan air yang bisu.
Ditatapnya lekat-lekat matanya yang basah. Kemilau kuarsa di dasar danau
membuatnya terpesona dan satu ide menamparnya. Ia berlari menuju sepedanya dan
pontang-panting pulang.
Sampai dirumah, ia mengambil
pacul dan dulang milik ayahnya dulu, lalu segera kembali ke danau. Ia
menyingsingkan lengan baju, turun ke bantaran sungai, dan mulai menggali
lumpur. Ia mengumpulkan galiannya ke dalam dulang, mengisinya dengan air, dan
mengayak-ayaknya. Sore itu, pendulang timah perempuan pertama di dunia, telah
lahir.
***
Banyak pria-pria pendulang
timah lain heran, ingin mengejeknya namun, sekaligus takjub karena perempuan
yang belum genap berumur 14 tahun mampu menjadi pendulang timah.
Bersemangat setelah
mendapatkan timah pertama, Enong semakin giat bekerja. Ia tidak tahu, di pasar,
di belik gelapnya subuh, pria-pria bermata jahat di tempat juru taksir itu
telah bersiap membuntutinya. Mereka ingin mengintai lokasi timah Enong.
Enong melintas riang sambil
menyiulkan lagu If you’re happy and you know it, clap your hands. Lima
pria itu mengikuti Enong dengan cermat dan bersepeda di belakangnya. Enong
memasuki jalan menuju hutan, kelima pria itu berpencar.
Siang itu, ketika tengah
menggali tanah, Enong mendengar salak anjing. Salak dari begitu banyak anjing.
Ia berbalik dan terkejut melihat beberapa orang pria berlaei menyongsongnya
dari pinggir hutan sambil mengacung-acungkan parang, panah, dan senapan
rakitan. Mereka berteriak-teriak mengancam dan melepaskan tali yang mengekang
leher belasan anjing pemburu.
Enong berlari sekuat tenaga.
Tak perduli kakinya yang tak beralas kaki itu berdarah karena duri dan
ranting-ranting pohon yang tajam. Enong berada pada saat yang tak bersahabat.
Ia di hadang oleh jurang yang curam dan di bawahnya adalah sungai yang cukup
deras alirannya.
Tak ada pilihan lain, Enong
pun melompat ke jurang. Terbawa arus, atau mati terbentur batu di sungai lebih
baik daripada di bunuh dan di perkosa oleh pria-pria itu.
Enong lolos dari orang-orang
yang memburunya. Kepalanya terhempas di dasar sungai. Ia pingsan. Arus yang
deras mengombang-ambingkannya sekaligus membuatnya terlepas dari incaran buaya.
Ia terlonjak-lonjak menuju hilir. Ia masih bernapas. Kejadian itu telah membuat
trauma bagi Enong.
***
A Ling menghilang. Mungkin ia
tak mau lagi menemuiku. Tapi aku ingin menemuinya, meski hanya sekali. Apalagi
beritanya A Ling akan menikah dengan seorang lelaki Tionghoa, tinggi, putih,
dan ganteng bernama Zinar. Aku bukan apa-apanya. Aku ingin mendengar langsung
dari mulut mungilnya bahwa ia akan menikah dengan Zinar.
Bisa dibilang, Zinar adalah
seorang lelaki idaman para wanita. Bagaimana tidak? Selain putih, tinggi, dan
ganteng, ia mempunyai toko pula. Sementara aku, pengangguran, pendek, hitam.
Tak layak sepertinya untuk mendapatkan seorang A Ling. Tapi aku layak punya
cinta.
Ibuku pun selalu memarahiku
karena tidak punya pekerjaan.
“Na! pulang juga akhirnya kau,
Bujang! Kena batunya kau, ya, kudengar dari Mualin syahbana kau mau melarikan
anak perempuan orang ke Jawa! Benarkah itu?”
Alisnya naik macam pedang.
“Elok nian tabiatmu! Apa kau
sangka cinta bisa ditanak?”
Aku terpaku.
“Sampai bersayap mulutku
bicara, cari kerja sana! Melamar jadi pegawai pemerentah. Pakai baju
dinas, banyak lambing di pundaknya, aih, gagahnya, dapat pengsiun pula!”
Aku menunduk.
Ibu mendekatiku. Aku gemetar.
“Melarikan anak orang? Tak ada
pengajaranku semacam itu! Tak dapat kuterima itu!”
Telah hafal aku sejak kecil
dulu. Kalau Ibu sudah sampai pada Tak ada pengajaranku semacam itu! Tak
dapat kuterima itu! Itu pertanda akan segera terjadi gencatan senjata. Aku
menunggu, ibu diam saja, ia berbalik dan membelesakkan sirih ke dalam mulutnya.
Rencana A hidupku, yang
kuikrarkan dulu waktu masih SD, telah gagal. Rencana B juga berntakan. Inilah
saatnya aku beranjak ke Rencana C : ke Jakarta, mencari kerja.
Aku mau pergi ke kantor pos
untuk mengirim surat-surat lamaran ke perusahaan-perusahaan di Jakarta. Dan
ketika tengah menempel-nempelkan perangko, nasib mempertemukanku dengan Enong.
Saat itu ia repot
membolak-balikkan sebuah kamus. Aku tertawa di tambah dengan tulisan pada kamus
itu ; Kamus Bahasa Inggris Satu Miliar Kata: 1.000.000.000 kata. Hebat
betul. Agaknya Enong tak berhasil menemukan kata yang ia cari. Ia mngeluarkan
sebuah buku dalam tasnya dan mengeja sebuah huruf. Kerna sangat dekat denganku,
dapat kulihat kata di halaman buku yang kumal itu : wound.
“Perlu kau pesan kamus yang
baru, Nong.”
“Aku akan memesannya, Tuan
Pos. pasti.” Jawabnya gembira.
“Luka, Kak,” kataku.
Enong terkejut dan menoleh
padaku.
“Apa katamu, Boi?”
“Luka, arti kata itu adalah
luka.”
“Na! kau bisa bahasa Inggris?”
“Bisalah sedikit.”
“Apa katamu tadi?”
“Luka, Kak, wound,
artinya luka.”
Matanya yang polos
berbinar-binar. Aku terseret semangatnya. Kemudian, ia mengeluarkan sepucuk
surat dari dalam tasnya.
“Surat ini dari sahabat
penaku, Minarni, di Jawa. Ada kalimat bahasa Inggris di sini. Aku ingin sekali
tahu artinya, tolonglah.”
Kubaca surat yang panjang itu
dan pada baris terakhir : Time Heals Every Wound.
“Ini kalimat yang bagus, Kak.
Artinya, waktu akan menyembuhkan setiap luka.”
Enong menatapku.
“Bemarkah?”
“Benar, Kak, waktu akan
mnyembuhkan setiap luk, itulah artinya.”
Enong senang sekaligus sedih.
“Bukan main, Boi. Bukan main.”
Pertemuan dengan Enong
berlanjut dengan obrolan panjang tentang mintanya akan bahasa Inggris. Ia suka
sekali katalog. Tuan pos suka memberinya katalog-katalog pada Enong. Terlebih
yang di dalamnya terdapat kata-kata bahasa Inggris. Kemudian, ia menunjukkan
sebuah katalog yang menawarkan kursus bahasa Inggris padaku.
Aku menerima surat dari
Grace—sobat kentalku dari Jakarta bahwa aku di panggil sebuah perusahaan untuk
wawancara. Aku memakai alamat Grace sebagai alamat korespondensi. Grace menulis
untukku :
“Cepat-cepat
jo ngana datang kamari. Ada tawaran wawancara for
ngana ini. Mar kalu ngana dapa, bisa cepat kaya ngana.”
***
Mendengar ada tawaran
wawancara untukku di Jakarta, mungkin inilah saatnya aku pergi. Betapapun
beratnya. Kukuatkan perasaanku dengan mengingat bahwa Zinar, dengan cara
apapun, takkan dapat kusaingi.
Hari ini, aku, Detektif M.
Nur, dan Enong bersama-sama pegi ke Tanjong Pandan. Tujuan ku dan Detektif
adalah ke dermaga, pergi ke Jakarta. Tujuan Enong : mendaftarkan diri ke kursus
bahasa Inggris yang tidak ketinggalan zaman itu. Inilah saatnya, kata
hatiku. Inilah perpisahan yang menyakitkan itu.
Turun dari bus Enong berjalan
cepat-cepat menuju pusat kota untuk mendaftarkan diri ke kursus bahasa Inggris.
Aku dan Detektif M. Nur mengambil dua kamar untuk menginap dan kemudiam
berangkat esok hari ke Jakarta. Detektif sepertinya tak tega meninggalkan
ibunya sendirian. Masih di elusnya foto ibunya. Sepertinya ia tak tega
meningalkannya.
Teman-temanku kini sudah
mendapatkan pekerjaan. Hanya aku yang masih menganggur. Salah satu temanku,
Naomi member tahuku tentang Ninockha Stronovsky, seorang pecatur perempuan yang
berhasil meraih gelar grand master.
Esok hari aku dan Detektif
bersiap berangkat ke Jakarta. Tapi sampai di dermaga, ku mantapkan untuk tidak
jadi pergi. Kusuruh Detektif yang pergi saja. Ia tak mau.
“Maaf, Boi, ini bukan karena
ibuku ….”
Aku terkejut tak kepalang.
“Jadi, karena siapa kau tak
mau pergi!? Siapa yang tak tega kau tinggalkan!?”
Detektif mengangkat wajahnya.
“Jose Rizal, Boi.”
***
Kemarahan ibu tak terelakkan.
Aku hanya dapat meredakannya dengan mengatakan aku akan bekerja apa saja asal
diberi kesempatan untuk paling tidak mengalahkan Zinar main catur. Aku pun
bekerja di warung kopi milik pamanku dan mulai belajar bermain catur demi
mengalahkan Zinar. Tentu yang akan mengajariku bermain catur adalah Ninockha
Stronovsky.
Aku pun menjelaskan detail
Rencana D itu. Aku pergi ke warnet di Tanjong Pandan dan mulai chatting dengan
Nockha. Diberinya sebuah diagram dengan penjelasan-penjelasan bagaimana mulai
melangkah dan beberapa tekhnik bermain catur padaku. Nockha menyuruhku
mengintai permainan lawan yang akan ku hadapi dan menggambarkannya pada diagram
tersebut kemudian mengirimkannya padanya. Nockha akan membertahu strategi apa
yang harus di lakukan.
Mendengar kata intai dari
kata-kata Inggris yang kuterjemahkan untuknya, alis Detektif naik turun.
Yang melakukan pengintaian
terhadap Zinar adalah Detektif M. Nur. Kemudian ku kirimkan diagram hasil
pengintaian detektif terhadap Zinar pada Nockha dan sejenak Nockha pun
memberiku apa yang harus kulakukan nanti saat melawan Zinar.
Kejuaraan 17 Agustus pun tiba.
Aku akan melawan Zinar. Aku yang pertama melakukan pembukaan. Aku pun melakukan
pembukaan Spanyol seperti yang diajarkan Nockha padaku. Awalnya aku yakin pasti
Zinar akan melangkahkan pion ke depan rajanya, tiga langkah, klasik, dan sangat
biasa.
Namun fakta berkata lain.
Hanya delapan langkah yang sama sekali tak kukenali, aku kalah. Zinar memang
hebat. Kusalami ia atas kemenangannya sebagai seorang lelaki gentleman.
Kutelan pil pahit itu dalam-dalam, pahit sekali.
Aku kembali menyusun rencana
yang kali ini adalah Rencana E. Nomor pertama dari rencana E adalah mengirimkan
kembali surat-surat lamaran pekerjaan ke Jakarta.
Di kantor pos aku diberi
sepucuk surat oleh Tuan Pos dari Grace. Isinya dia marah-marah karena aku tidak
datang ke Jakarta. disitu aku bertemu Enong. Ia meminta bantuanku membuat
sebuah puisi yang nanti akan di terjemahkan dalam bahasa Inggris. Awalnya aku
menolak tapi dia memaksa dan akhirnya aku membuatkannya sebuah puisi. Di
keluarkannya buku dan pulpen dari dalam tasnya. Kemudian aku mulai mengeluarkan
kata-kata yang aku sendiri tidak tahu dari mana asalnya.
Bulan di atas kota kecilku
yang ditinggalkan zaman
Enong cepat-cepat menulis
judul itu. Aku meneruskan puisi itu sambil memikirkan bait demi bait
selanjutnya dengan melihat sekeliling dan dirirku sendiri.
Tak lama kemudian, Enong pun
menunjukkan hasil terjemahan puisinya padaku dan terselip surat dari Bu Indri,
guru Enong untukku.
Kubaca:
Kak Enong yang menerjemahkan puisinya dan saya
membantunya. Maaf, saya telah mengganti beberapa bagian, bahkan menambahinya,
agar berima dalam kalimat bahasa Inggris. Ini semacam terjemahan bebas saja.
Saya adalah pecinta puisi. Saya juga senang menulis puisi. Saya punya buku
puisi koleksi pribadi. Saya harap suatu hari kita bisa berjumpa untuk membaca
dan ngobrol tentang puisi.
Bu Indri sering mengirimkan
surat padaku. Tentu saja lewat Enong. Ia mengirimkan puisi-puisi karyanya. Ia
sangat berbakat.
***
Sore itu tiba-tiba A Ling
datang ke rumahku. Betapa gembiranya aku dapat melihatnya. A Ling menjelaskan
bahwa kenapa ia tiba-tiba menghilang karena ia mengikuti tradisi orang Tionghoa
jika akan menikah. Berdasarkan tradisi haruslah rahasia karena menyangkut
kehormatan dua keluarga.
Ia pun menyerahkan undangan
untukku dan ayahku agar hadir acara perkawinan Zinar esok sore. Kulihat
ia mengusap air mata dengan lengannya. Sejak kecil aku tak mampu berpaling ke
perempuan lain. Kugenggam jemariku
sendiri yang gemetar. Betapa aku sayang pada orang ini.
***
Acar perkawinan itu
berlangsung menarik. Kulihat A Ling berdiri sendiri di ujung beranda. Aku
menghampirinya. Kuberikan puisi yang dulu aku buat pertama kali untuknya saat
aku masih SD. Ia membuka dan membacanya. Sesekali ia menarik napas dan
terhenti. Terpana dan menunduk. Lalu, ia manatapku. Kemudian, ia membaca lagi
puisi itu pelan-pelan. Ia membacanya sambil tersenyum, namun matanya
berkaca-kaca.
Perkawinan Zinar bak ritual
yang penuh perlambang itu usai. Zinar pun meminta Bang zaitun untuk menyanyikan
lagu “Morning Has Broken”. Setelah usai, hadirin pun bernyanyi lagu
“Selayang Pandang”.
Kemudian, di antara
ingar-bingar itu, kudengar suara gemeretak di atas atap. Titik hujan turun
berinai-rinai menghujani kampungku. Hatiku girang tak kepalang. Aku melompat
dan bergabung dengan orang-orang yang berdendang di pekarangan meski hujan
mulai turun.
Seperti impian diam-diamku
selalu, hujan pertama jatuh tepat pada 23 Oktober sore, pada hari kudapatkan
lagi A Ling dan ayahku. Hujan membasahiku. Kurentangkan kedua tanganku
lebar-lebar. Aku mengadah dan kepada langit kukatakan: Ini aku! Putra ayahku!
Berikan padaku sesuatu yang besar untuk kutaklukan! Beri aku mimpi-mimpi yang
tak mungkin karena aku belum menyerah! Tak kan pernah menyerah! Takkan pernah!
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar